Welcome to my blog! Selamat Datang! Irashaimasu! Salamat Hasundau!

Rabu, 28 Desember 2011

Rainbow Children


Anak-anak pelangi atau biasa disebut Rainbow Children adalah generasi ketiga anak-anak khusus yang telah datang untuk membantu manusia berevolusi. Berbeda dari Indigo dan Crystal, Rainbow Children memiliki karakteristik yang lebih menarik lagi. Rainbow Children umumnya lahir pada tahun 2000 ke atas. Dalam beberapa kasus, ada juga mungkin beberapa yang datang ke dunia sebelum tahun 2000. Beberapa Rainbow Children yang di sini saat ini adalah lahir dari Crystal Children awal yang lahir di tahun 1980-an.

Seperti namanya, Rainbow Children datang ke bumi dengan beberapa warna sinar spektrum lainnya. Mereka lahir pada dimensi kesembilan kesadaran, dimensi kesadaran kolektif.


Seperti banyak orang mungkin pernah mengalami hal itu, Rainbow Children membawa sukacita dan harmoni bagi keluarga mereka. Berbeda dengan anak Indigo dan Crystal, Rainbow Children lahir untuk tersenyum, yang disertai dengan hati besar mereka yang penuh pengampunan.


Doreen Virtue menjelaskan karakteristik anak Rainbow:

  • Saat ini sangat sedikit  inkarnasi.
  • Orang tuanya Crystal Children dewasa.
  • Belum pernah inkarnasi sebelumnya.
  • Tidak ada karma.
  • Tidak memilih keluarga disfungsional.
  • Mereka semua melayani.
  • Memiliki mata besar seperti anak-anak kristal, tapi mereka benar-benar terpercaya.
  • Sepenuhnya tidak takut pada semua orang.
  • Membawa pada energi penyembuhan pelangi yang sebelumnya dibawa melalui Reiki, qigong,  penyembuhan Prana  dan  pada penyembuhan tangan lainnya .
Rainbow Children juga dapat menjadi energi yang sangat tinggi, memiliki kepribadian yang kuat, menjadi kreatif, dan dapat mewujudkan apa saja langsung mereka inginkan atau butuhkan.

Tujuan dari Rainbow Children untuk menyelesaikan tahap akhir dari pondasi yang telah dibuat Indigo dan anak Crystal .  Indigo, Crystal, dan Rainbow masing-masing memiliki tugas tertentu. Anak-anak Indigo adalah untuk memecah paradigma pemikiran tradisional. Lalu anak-anak Crystal akan membangun pondasi mereka pada paradigma rusak. Akhirnya, anak-anak Rainbow di sini untuk membangun apa yang anak-anak Indigo dan Crystal mulai.

Doreen Virtue mengatakan, "anak-anak Rainbow secara sempurna seimbang dalam energi mereka baik pria maupun wanita. Mereka percaya diri tanpa agresivitas, mereka intuitif dan psikis tanpa belajar, mereka sakti dan bisa membengkokkan waktu, menjadi tidak terlihat, dan pergi tanpa tidur dan makanan. Kepekaan anak-anak Crystal membuat mereka rentan terhadap alergi dan ruam. Para malaikat mengatakan bahwa anak-anak Rainbow akan telah mengatasi masalah ini. Anak-anak Rainbow tidak memiliki karma, jadi mereka tidak perlu memilih masa kecil kacau untuk pertumbuhan rohani .  Anak-anak Rainbow murni berjalan keluar dari sukacita, dan tidak keluar dari kebutuhan atau dorongan. Bayi akan dikenali, karena energi mereka adalah salah satu dari memberi kepada orang tua, dan bukan kebutuhan-kebutuhan. Orang tua akan menyadari bahwa mereka tidak dapat keluar-memberikan anak Rainbow mereka, untuk anak-anak adalah cermin dari semua tindakan dan energi cinta. Apapun pikiran yang penuh kasih, perasaan, dan tindakan yang Anda kirim kepada mereka yang akan diperbesar dan kembali seratus kali lipat."

Rainbow Children yang sudah terbiasa dengan dunia kita yang sedang bergerak ketika hal-hal akan segera terwujud. Kemanusiaan secara keseluruhan belum ada di sana,sehingga grid kesadaran massa menahan manifestasi instan dari yang biasa. Seorang balita akan sulit memahami itu. Mereka merasa jika mereka "berpikir" jus,  maka jus harus secara alami muncul seketika. Dalam dimensi yang lebih tinggi ini mungkin benar dan akan menjadi kenyataan di Bumi juga, berkat anak-anak Rainbow membuatnya jadi nyata.

Anak-anak  Rainbow cenderung untuk:
• Mempunyai kemauan dan kepribadian yang sangat kuat .
• Menjadi energi yang sangat tinggi.
• Sangat selaras dengan getaran warna dan warna di sekitar mereka.
• Memiliki gairah kreativitas .
• Menyukai pakaian  cerah dan lingkungan berwarna-warni .
• Meluapkan dengan antusiasme untuk segala sesuatu dalam hidup.
• Mengharapkan manifestasi instan dari apa yang mereka pikir / butuhkan.
• Memiliki kemampuan penyembuhan.
• Memiliki telepati.

Anak-anak Pelangi tampaknya berada di sini untuk melaksanakan Kehendak Tuhan dan mereka akan menggunakan kemauan dan energi  yang  kuat  untuk membangun Dunia Baru di atas dasar perdamaian dan harmoni yang telah dibangun anak-anak Crystal . Anak-anak Crystal hanya mampu membangun pondasi karena anak-anak Indigo sudah merintis jalan dan semua hambatan lama dihancurkan. Mereka semua-penting dan harus datang  untuk mencapai tujuan mereka.

Rainbow Children  sangat sensitif, penuh kasih, mengampuni, dan magis seperti anak-anak Crystal. Perbedaannya adalah bahwa Rainbow Children belum pernah berada di bumi, sehingga mereka tidak memiliki karma untuk keseimbangan. Para Rainbows, oleh karena itu, memilih rumah tangga sepenuhnya damai dan fungsional. Mereka tidak perlu kekacauan atau tantangan untuk menyeimbangkan karma atau berkembang.

Sebagai anak-anak Crystal lainnya yang menjadi tua, mereka akan menjadi orang tua cinta damai  yang melahirkan anak-anak Rainbow baru. Para Rainbow yang  lahir sekarang adalah pembuka jalan, dan gelombang besar Rainbows akan terjadi selama tahun 2010 sampai 2030.

Anak Rainbow benar-benar terbuka hatinya, cinta tanpa syarat, dan tidak memiliki rasa takut terhadap orang asing. Tidak seperti anak-anak Crystal yang hanya menampilkan kasih sayang kepada orang penjamin kepercayaan mereka, para Rainbow memberi  kasih sayang universal. Mereka menyembuhkan kita dengan chakra besar hati, dan membungkus kita dalam selimut berwarna pelangi energi yang begitu sangat kita butuhkan. Mereka adalah malaikat bumi kita.


Sumber : starchildren.info





Rabu, 12 Oktober 2011

Kerajaan Tertua di Indonesia versi 2


Salakanagara didalam naskah Wangsakerta disebut-sebut sebagai Kerajaan awal di Indonesia. Naskah tersebut kemudian diuraikan dalam Sejarah Jawa Barat dan menghubungkan dengan sumber berita luar tentang Salakanagara.

Sumber berita yang sangat berpengaruh dan memberikan inspirasi bagi para peneliti adalah dari berita Cina, menyebut-nyebut raja Yeh-tiao bernama Tiao pien mengirimkan utusan ke Cina pada tahun 132 M. Nama Yeh-tiao diduga Yawadwipa atau Yabadiu, sedangkan Tiao pien dipersamakan dengan Dewawarman.

Berita Cina bukan satu-satunya sumber rujukan, karena keberadaannya dianggap lebih serius setelah dihubungkan dengan tulisan Ptolomeus, ahli ilmu bumi mesir, dalam buku ‘Geographia’, ditulis + tahun 150 M. Ptolomeus menyebutkan diujung barat Iabadiou (Jawadwipa) terletak Argyre (kotaperak). Dari kedua berita ini kemudian para ahli menarik kesimpulan adanya sebuah kerajaan di pulau jawa bagian barat. Sekalipun dalam rentang perjalanan waktu, kesimpulan para penelitipun berubah-berubah, bahkan menganggap berada di daerah Thailand.

Didalam sejarah lokal, konon letak Salakanagara berada di sekitar Kabupaten Pandeglang. Propinsi Banten. Peninggalan yang dianggap berkaitkan dengan Salakanagara tersebar di Cihunjuran, Citaman, Gunung Pulosari, dan Ujung Kulon, bahkan diperkirakan memilki kaitan dengan wilayah sekitar Gunung Salak (Mungkin Caringin Kurung) dan Gunung Padang Cianjur. Tapi tokoh Betawi, Ridwan Saidi dalam bukunya “Babad Tanah Betawi” mengkalim Salakanagara terletak di Kali Tirem, Warakas, Tanjung Priuk, bahkan menyebut-nyebut Aki Tirem sebagai leluluh orang Betawi.

Kegamangan menentukan letak Salakanagara didalam peta Indonesia memang sangat wajar, mengingat tidak ada bukti fisik sejarah yang telah diakui dengan jelas dan bisa dijadikan patokan. Semacam prasasti, atau tanda-tanda lainnya. Dimungkinkan pula kegamangan ini karena tidak diperhitungkannya perubahan alam, seperti telah meletusnya Gunung Krakatau pada abad ke-17, dikenal dengan nama Nusa Api.

Menurut hemat saya, penelusuran sejarah Salakanagara sebaiknya tidak hanya terfokus pada masalah yang bersifat berita komunikasi tertulis yang memang sangat terbatas, namun jauh lebih bijak jika dipertimbangkan pula sumber dari cerita-cerita rakyat atau petutur sejarah lisan. Penelusuran dapat juga dilakukan melalui cara mencari asal-usul kerajaan sebelumnya, seperti mencari asal-usul kerajaan Tarumanagara. Konon Kabar kerajaan ini merupakan ‘tuturus’ dari Salakanagara.

Dalam cerita lisan Urang Sunda mengenal kisah Dewata Cengkar dan Abusaka mungkin abu saca). Yang satu dianggap asli Indonesia sedang yang lain dari tanah sebrang. Kisah ini lebih banyak menceritakan adanya pertemuan budaya, namun memang seolah-olah ada cerita yang kurang enak mengenai dominasi asing terhadap pribumi. Sebagai paneling-ngelingnya maka lahirlah penanggalan Caka Sunda. Sayang ceritanya hanya terbatas untuk komunitas tertentu. Sehingga agak sulit melacak “ka girangna”. Namun didalam sejarah Jawa Barat disebutkan pertanda adanya sentuhan budaya dari India.

Salakanagara dalam sejarah Sunda (Wangsakerta) disebut juga Rajatapura. Salaka diartikan perak sedangkan nagara sama dengan kota, sehingga Salakanagara banyak ditafsirkan sebagai Kotaperak atau Argyre (ptolomeus).
Konon kabar Salakanagara sampai dengan masa Aki Tirem baru bebentuk suatu komunitas masyarakat yang tinggal di Wilayah tersebut, bahkan namanya pun belum disebut Salakanagara, hanya dipimpin atau dikelola oleh penghulu, Salakanagara resmi menjadi kerajaan ketika masa Dewawarman I, menantu Aki Tirem yang menikahi putri Aki Tirem, bernama Pwahaci Larasati (urang sunda menyebut Dewi Pohaci).

Jauh-jauh hari sebelum berbentuk kerajaan, Salakanagara dikenal sebagai kota perdagangan dan persinggahan para Saudagar asia, seperti Arab, India dan China. Sehingga wajar jika keberadaan Salakanagara diberitakan oleh mereka.

Selasa, 04 Oktober 2011

Kerajaan Tertua di Indonesia versi 1


Berdasarkan tarikh masehi berdirinya kerjaaan ini, maka tidak heran jika banyak kalangan meyakini bahwa Padangguni adalah Kerajaan Prasejarah Tertua di Indonesia, lebih dahulu ada dibandingkan Kerajaan Kutai yang muncul pada abad ke-4.

Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Itulah salah satu topik pidato Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno yang amat popoler dan masih menjadi acuan politik pemerintah maupun rakyat hingga saat ini, Jasmerah! Sejarah memang selalu jadi legenda nyata yang akan mempengaruhi kehidupan manusia, juga perjalanan hidup suatu bangsa. Tidak ada satupun bangsa atau negara di dunia ini yang steril dari kisah sejarah masa lampau bangsa atau negara itu. Heroisme yang dipertontonkan generasi masa lalu akan terefleksi dalam setiap gerak hidup generasi penerusnya. “Nenek moyangku orang pelaut…” sebuah ungkapan nyanyian anak-anak yang menjadi cerminan kebesaran dan kedigdayaan bangsa Indonesia di masa lampau, yang terwariskan mempengaruhi sejarah kehidupan mayoritas masyarakat sepanjang pantai di kepulauan Indonesia saat ini. Bangsa besar lahir dari sejarah kebangsaan yang besar pula.

Betapa pentingnya mengetahui dan memahami sejarah bangsa. Maka mencari, meneliti, dan menelurusi jejak hidup nenek-moyang kita dengan segala bentuk dan struktur kehidupan masyarakatnya adalah tugas sejarah yang mesti dilaksanakan oleh generasi masa kini dan mendatang. Kepedulian kita tentang sejarah dan budaya nenek moyang bangsa akan memperkaya khasana kebudayaan di tanah air yang pada gilirannya dapat berpotensi menjadi salah satu tujuan wisata sejarah. Dengan mengetahui sejarah bangsa, kita boleh menyadari bahwa di Indonesia ini pernah lahir lebih dari 1000 buah kerajaan, sebuah angka fantastis yang tidak akan pernah kita jumpai di belahan dunia lainnya. Dari penelitian kesejarahaan masyarakat tradisional di nusantara, kita juga dapat mengetahui bahwa tata pemerintahan tradisional yang menjunjung tinggi keberadaan aturan hukum selayaknya undang-undang di jaman kini, sudah eksis sejak dahulu kala. Salah satunya adalah Kalo Sara Hukum Adat di kerajaan kuno, Kerajaan Padangguni.

Kerajaan Padangguni merupakan kerajaan kecil di wilayah Kendari, Sulawesi Tenggara. Rakyat kerajaan ini berasal dari suku Tolaki kuno yang hingga hari ini masih eksis dengan tetap mempertahankan tradisi kuno yang diwarisi secara turun-temurun dari nenek-moyang mereka. Komunitas suku Tolaki kuno di jaman prasejarah masa lampau itu berkembang menjadi sebuah kerajaan yang didirikan oleh Raja Larumbesi Tanggolowuta I pada abad ke-2 Masehi. Dalam kitab Bunduwula disebutkan bahwa Kerajaan Padangguni dahulu disebut Owuta Puasa yang berarti Tanah Pusaka atau Tanah Leluhur.

Berdasarkan tarikh masehi berdirinya kerjaaan ini, maka tidak heran jika banyak kalangan meyakini bahwa Padangguni adalah Kerajaan Prasejarah Tertua di Indonesia, lebih dahulu dibandingkan Kerajaan Kutai yang muncul pada abad ke-4.

Masyarakat suku Tolaki kuno di Kerajaan Padangguni pada saat sebelum datangnya agama Hindu-Budha menganut kepercayaan Animisme, Dinamisme, dan Totenisme. Kemudian pada awal abad XIV mereka beralih kepercayaan menganut agama Hindu. Oleh karena itulah Lambang Dewa Shiwa dipergunakan sebagai Lambang Kalo Sara hukum adat setempat untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang timbul dalam masyarakat. Bagi yang tidak tunduk dan tidak mematuhi Kalo Sara hukum adat ini dipercaya akan mendapatkan kutukan.

Agama Hindu-Budha yang dianut masyarakat pada saat itu tidak sama persis dengan agama Hindu yang berkembang di India. Hal ini karena disesuaikan dengan kepercayaan masyarakat sehingga terjadi akulturasi dalam wujud agama Hindu-Budha. Perkembangan kepercayaan masyarakat kerajaan Padangguni nampak dari struktur pemerintahan sejak jaman Hindu s/d abad XIX. Corak pemerintahan dipengaruhi oleh akulturasi Hindu-Buddha yang selanjutnya berakulturasi lagi dengan kebudayaan Islam yang masuk dari kerajaan Goa-Tallo di Sulawesi Selatan. Fenomena terakhir, pengangkatan raja Kerajaan Padangguni yakni Raja Bunduwula XII yang diberi gelar Sultan dilakukan dengan pertimbangan penyesuaian kebudayaan Islam. Dalam bahasa Tolaki, kerajaan dipimpin oleh seorang Raja atau Mokole dan keturunannya yang disebut Anakia (laki-laki) dan Anawai (perempuan), sedangkan kesultanan menurut terminologi bahasa Arab adalah sama dengan kerajaan yang dipimpin oleh seorang Sultan.

Beberapa catatan sejarah dan bukti yang masih tersisa berupa budaya dan peninggalan tertulis, diantaranya kitab-kitab yang berisikan tentang perjalanan suku Tolaki, silsilah raja-raja, dan peristiwa-peristiwa lainnya. Kitab Ilagaligo adalah kitab yang berasal dari kerajaan Goa-Tallo yang menjelaskan tentang asal-usul Raja Bunduwula I. Kitab Taenango suku Tolaki kuno yang memuat asal-usul kejadian manusia dan berisi nasehat-nasehat kehidupan, dan riwayat perjalanan hidup suku Tolaki yang diceritakan dalam bentuk syair. Kitab ini biasanya dibaca dengan cara dinyanyikan pada saat upacara keagamaan dan upacara perkawinan. Kitab Bunduwula Sangia Wonua Sorume menjelaskan asal-usul terbentuknya kerajaan Padangguni.
Di bidang kebudayaan, terdapat budaya Kalo Sara Hukum Adat yang menjadi pedoman bertingkah-laku anggota masyarakat Tolaki kuno hingga generasinya saat ini. Barangsiapa yang tidak mematuhi hukum adat tersebut dipercaya akan mendapatkan kutukan. Juga, dapat disaksikan pementasan sakral budaya Tarian Ulo. Tarian ini bisanya digunakan untuk penyembahan pada dewa dan leluhur dan orang tua atau raja yang sudah meninggal. Selain itu, masyarakat Tolaki di kerajaan Padangguni yang masih tradisional itu menguasai ilmu meteorologi dan geofisika (Matanggawe), perhitungan waktu (Bilangari), dan seni bangunan.

Dalam kitab Bunduwula dan kitab Taenango menjelaskan struktur organisasi pemerintahan kerajaan Padangguni sebagai pusat kerajaan. Kerajaan Padangguni membawahi daerah-daerah yang diperintah oleh seorang Mokole atau Raja, Inowa, Inowa Owa, Wonua, Napo dan Kambo. Daerah-daerah tersebut menjadi anggota persekutuan pemerintahan kerajaan Padangguni yang umumnya masih kerabat atau keluarga dekat Raja Bunduwula yang memerintah dalam wilayah/daerah secara otonom. Raja Bunduwula memerintah atas nama daerah-daerah itu dengan Mokole-mokole/Raja, Inowa, Inowa owa. Apabila Raja Padangguni bertindak keluar, ia merupakan wakil rakyat yang berkuasa penuh, sedangkan jika bertindak kedalam ia merupakan lambang nenek-moyang yang didewakan.

Sumber informasi sejarah kerajaan Padangguni menurut catatan dalam kitab Ilagaligo, Kitab filsafat Taenago dan Kitab Bunduwula, ternyata tidak ada catatan peralihan Dinasti Raja Larumbesi Tanggolowuta I di abad ke-2 Masehi ke Dinasti Mokole Bunduwula I abad ke-16, Sangia Wonua Sorume Mokole Padangguni Inea Sinumo Wuta Mbinosito (Daerah Istimewa) Totongano Wonua (Raja Pusat Negeri) Lembui Lenggobaho (Sulawesi Tenggara) tahun 1574-1649. Pemerintahannya dilanjutkan oleh Raja Bunduwula II yang bernama Welimondi (1649-1715) dengan Gelar Anawai Ndo Padangguni II (ratu). Berturut-turut selanjutnya adalah Raja Padangguni III bernama Maranai (1715-1745) dengan Gelar Mokole Bunduwula III Inea Sinumo Wutoa Mbinotiso. Raja Padangguni IV bernama Wesande dengan Gelar Anawai Ndo Padangguni IV Inea Sinumo Wuta Mbinotiso Bunduwula IV (1745-1775). Raja Padangguni V bernama Dahoro dengan Gelar Bunduwula V Inea Sinumo Wuta Mbinotiso (1775-1815). Kemudian Raja Padangguni VI bernama LAO dengan Gelar Mokole Bunduwula VI Inea Sinumo Wuta Mbinotiso (1815-1845). Raja Padangguni VII bernama Danda yang diberi Gelar Mokole Bunduwula VII Inea Sinumo Wuta Mbinotiso (1845-1875). Raja Padangguni VIII bernama Labandonga dengan Gelar Mokole Bunduwula VIII Inea Sinumo Wuta Mbinotiso (1845-1905), Raja Padangguni IX bernama Sandima dengan Gelar Mokole Bunduwula IX Inea Sinumo Wuta Mbinotiso (1905-1935). Raja Padangguni X bernama Beangga dengan Gelar Mokole Bunduwula X Inea Sinumo Wuta Mbinotiso (1935-1959). Selanjutnya Raja Padangguni XI bernama Tariambo anak dari Raja Sandima dengan Gelar Mokole Bunduwula XI Inea Sinumo Wuta Mbinotiso (1959-1978).

Kekacauan yang terjadi akibat pemberotakan DI/Permesta beberapa dekade silam telah mempengaruhi proses peralihan kepemimpinan di Kerajaan Padangguni. Bahkan, istana kerajaan telah musnah dibakar oleh gerombolan pengacau keamanan karena pihak kerajaan teguh berpihak kepada Pemerintahan RI. Namun, sejarah belum usai. Pemegang tampuk kepemimpinan terakhir Kerajaan Padangguni, Raja Padangguni XI, Mokole Tariambo kemudian menitipkan Mahkota Kerajaan Padangguni kepada keponakannya Bunduwula Yusuf dengan amanat agar kelak diserahkan kepada Putra Mahkota Kerajaan Padangguni yaitu Abdul Aziz Riambo. Penobatan Abdul Azis Riambo dengan Gelar Sultan Anakia Mokole Bunduwula XII Inea Sinumo Wuta Mbinotiso telah dilangsungkan di hadapan masyarakat adat Tolaki Kerajaan Padangguni pada tanggal 20 Juni 2001. Raja Bunduwula XII, tugas sejarah telah diletakkan di pundak Paduka. Masyarakat adat di Kerajaan Padangguni menanti sabda dan titah Baginda Raja.


Sumber : pewarta-indonesia.com

Kamis, 09 Juni 2011

Manyipet


Manyipet atau menyumpit bagi masyarakat Dayak adalah kebanggaan karena dulu para lelaki bisa mendapatkan lauk bagi keluarga dari berburu hewan di hutan. Sekarang manyipet masih dilakukan para lelaki dan sebagian perempuan, tetapi hanya untuk sambilan ketika pergi ke ladang.

Undong (60), warga Desa Sungai Lunuk, Kecamatan Tanah Siang, Murung Raya, Kalimantan Tengah, masih ingat betul waktu beranjak remaja dulu ia sering diajak ayahnya berburu. Hasil buruan itu dijadikan lauk buat santapan keluarga.

Sampai sekarang ia juga masih sering menyumpit walau tidak benar-benar untuk berburu. Bersama perlengkapan ke ladang lain, sumpit tetap dibawa, tetapi hanya dipakai kalau kebetulan melihat burung, rusa, babi, tupai, atau binatang lain. Sebab, binatang hasil buruan kini bukanlah yang utama untuk konsumsi keluarga. Selain karena hutan makin berkurang akibat terdesak pertambangan dan perkebunan besar, atau tinggal tersisa semak belukar setelah ditinggalkan para pemegang hak pengusahaan hutan (HPH), aneka barang kebutuhan sudah tersedia di warung-warung desa. Lauk tidak lagi mengandalkan hasil buruan dan ikan segar dari sungai, tetapi bisa dibeli dan jenisnya beragam. Tahu, tempe, ikan asin, daging, telur, dan mi instan dengan mudah didapat.

Kalaupun masih ada kelompok masyarakat yang berburu, mereka tidak semata-mata mencari lauk. Untuk itu, mereka harus berjalan kaki masuk hutan yang kini makin jauh lokasinya dari perkampungan.

Beracun dan mematikan

Sumpit sebagai senjata sebenarnya ada di banyak daerah, bahkan sejumlah negara. Dalam buku Sumpitan Koleksi Museum Kalteng, Proyek Pengembangan Permuseuman Kalteng Tahun 1980-1981 disebutkan, Robert FG Spier dari Universitas Missouri menyatakan, beberapa suku primitif di Amerika Tengah, Amerika Selatan, Filipina, dan Asia Tenggara lain menggunakan senjata tiup (blowgun) untuk berburu.

Dalam buku Borneo 1843 terbitan Bentara Budaya Yogyakarta tahun 2010 disebutkan hasil penelitian Dr CALM Schwaner asal Belanda di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan tentang kehidupan masyarakat di Sungai Kahayan dan Barito.

Penelitian Dr CALM Schwaner dalam Beschruving van Het Stroomgebied van Den Barito jilid 1 dan 2 itu, seperti dikutip Borneo 1843, memuat gambar litografi karya CW Mieling, antara lain beberapa orang Dayak di pinggir perkampungan yang memegang sumpit.

Mengenai asal muasal penggunaan sumpit, buku Sumpitan Koleksi Museum Kalteng menyebutkan beberapa versi, antara lain seorang pandai besi mendapati bambu (puputan) yang dipakai meniup api tersumbat. Ia kemudian meniupnya sekuat tenaga sehingga sumbatannya terlempar keluar.

Ada juga kisah peniup seruling (serunai) yang lubangnya tersumbat dan kemudian dia meniupnya. Ada yang menuturkan sumpit hasil kreasi pemburu saat melihat buaya menyemprotkan air ke monyet.

Dari mana pun asal dan bagaimana muasal penggunaannya, sumpit sudah sangat lama menjadi senjata Dayak.
Untuk kepentingan berburu, ujung anak sumpit (damek) yang lancip itu biasa direndam dalam racun dari getah tumbuhan ipu atau siren yang sangat mematikan. Binatang buruan yang tertancap di ujung damek dipastikan akan mati dalam waktu 30 detik hingga 3 menit. Bagian daging di sekitar damek menancap akan berwarna biru dan harus dibuang karena berbahaya jika termakan manusia.

Karena begitu mematikan, ditambah lagi dengan cara penggunaannya yang hanya berbunyi ”sett..., dup”, tentara Belanda dulu diberitakan sangat takut menghadapi sumpit Dayak dibandingkan dengan senjata api. Peluru yang bersarang di dalam tubuh bisa dioperasi, luka bekas tembakan bisa disembuhkan, tetapi terkena anak sumpit beracun bisa dipastikan mati.

Karena begitu mematikannya anak sumpit beracun itu, di masyarakat Dayak terdapat juga pantangan menggunakan damek beracun untuk menyumpit manusia. Sekali damek mengenai manusia, dikatakan bahwa damek yang tersisa akan kehilangan ”kesaktiannya”. Itulah kearifan lokal agar manusia tak saling bunuh.

Kearifan lokal juga tecermin dari filosofi pembuatan sumpit yang butuh ketelatenan dan kesabaran untuk mengebor (membuat lubang berdiameter sekitar 1 sentimeter dengan panjang 1,2-2 meter di dalam batang kayu ulin yang keras itu selama berbulan-bulan. ”Berpikir harus lurus,” kata budayawan Dayak, Syaer Sua U Rangka (59), yang pernah menjadi pelatih menyumpit di Kostrad pada 2001.

Sumber : Kompas

Kamis, 17 Februari 2011

Dayak & Falsafah Yang Membumi

"Adil ka`talino bacuramin ka`saruga basengat ka`jubata", mungkin asing terdengar bagi sebagian orang. Namun kata-kata itu, seperti sudah menyatu dalam jiwa sebagian besar warga Dayak di Kalimantan Barat.
Kalimat tersebut, sering kali menjadi sapaan pembuka dalam suatu acara atau pertemuan, baik resmi maupun tidak di Provinsi Kalbar. Bahkan Gubernur Kalbar, Cornelis, selalu memulai sambutannya di depan tamu dan undangan dalam suatu perhelatan resmi dengan sebaris kalimat tersebut.

Misalnya saja, saat akan memberikan sambutan dalam pembukaan Bulan Bhakti Gotong Royong Masyarakat VIII dan Hari Kesatuan Gerak PKK ke-39 di Sentra Bisnis A Yani Mega Mall Pontianak, Selasa (31/5).
Acara tersebut dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Ani Yudhoyono. Cornelis, dengan percaya diri menggunakan salam khas suku Dayak tersebut.

"Adil ka`talino bacuramin ka`saruga basengat ka`jubata", lantas dibalas sebagian tamu yang paham, dengan perkataan "Arus..., arus..., arus" Itulah "salam" Dayak.
Tepatnya lagi, sebuah falsafah yang kini semakin populer di kalangan masyarakat Kalbar. Sebaris kalimat yang tidak jarang disebut sebagian orang sebagai salam Dayak tersebut, kini selalu dikumandangkan dalam setiap perhelatan yang melibatkan masyarakat adat Dayak.

Ketua Harian Dewan Adat Dayak Kalbar, Yakobus Kumis, membenarkan bahwa sebaris kalimat tersebut merupakan falsafah hidup masyarakat Dayak.

Diambil dari Bahasa Kanayatn, yakni bahasa yang biasa digunakan warga Dayak "Ahe" yang bermukim di Kabupaten Pontianak, Landak, Bengkayang dan kini di Kota Pontianak.

"Adil ka`talino" artinya harus bersikap adil kepada sesama manusia. "Bacuramin ka`saruga" artinya kita harus bercermin, berpandangan hidup seperti perkataan baik di surga. "Basengat ka`jubata" bahwa kehidupan manusia itu tergantung kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Lantas, dijawab dengan teriakan "Arus, arus, arus" (sebanyak tiga kali), yang artinya "amin", atau pun "ya", "terus-terus mengalir" (seperti air) dan "terus hidup".
"Intinya, kita harus bersikap adil dan berbuat adil kepada sesama manusia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa," katanya.

Menurut Yakobus Kumis, sebaris kalimat tersebut tidak muncul begitu saja. Melainkan melalui olah pikir sejumlah tokoh Dayak dan dibahas dalam suatu pertemuan. Dia menyebut tiga nama tokoh Dayak yang menjadi perumus sehingga lahirnya falsafah tersebut.

Mereka adalah Bahaudin Kay, Ikot Rinding, dan RA Rachmat Sahudin. Baik Bahaudin Kay maupun Rachmat Sahudin kini telah meninggal dunia. Sementara Ikot Rinding, sejak lama tidak muncul ke muka publik karena sakit.

Falsafah itu dikukuhkan pertama kali dalam Musyawarah Adat Naik Dangau pertama tahun 1985 di Anjungan, Kabupaten Pontianak.

Kata "Auk" yang semula menjadi perkataan sahutan (menjawab) salam tersebut, oleh Dewan Adat Dayak Kalbar pada tahun 2002, diganti menjadi "Arus" dan diucapkan sebanyak tiga kali.
Agaknya karena alasan tidak bermakna, selain berarti "Ya" (dalam bahasa percakapan sebagian warga di Kalbar) maka digantilah kata "Auk" itu menjadi "Arus".

Dalam perkembangannya, sejak Musyawarah Nasional Kedua Dewan Adat Dayak se-Kalimantan pada Juni 2006, falsafah tersebut ditetapkan menjadi salam Dayak secara nasional.

Pada 8 Agustus 2010 "Adil ka`talino bacuramin ka`saruga basengat ka`jubata" menjadi falsafah hidup bagi masyarakat Dayak sedunia yaitu pada saat peluncuran Borneo Dayak Forum di Kuching, meliputi Kalimantan, Kuching (Sarawak), Sabah dan Brunei Darussalam.

Maria Goreti, mantan jurnalis yang kini menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah RI menganggap falsafah hidup tersebut merupakan spirit yang berasal dari Tuhan.
Menurut dia, falsafah hidup atau sikap batin paling dasar tersebut memiliki arti adil kepada manusia, bercermin di surga, napas semuanya tergantung kepada Tuhan.

"Spirit, jiwa atau pun semangat itu berasal dari Tuhan," katanya.

Secara harfiah atau arti kata yang paling mendasar adalah "keadilan bisa diwujudkan di bumi dan di surga". Di mana pun, manusia harus dapat berlaku adil, bukan hanya kepada sesama manusia, tetapi juga kepada makhluk hidup seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan.

Dia mengaku terkesan dengan falsafah tersebut sejak pertama kali ditetapkan sebagai pandangan hidup masyarakat Dayak. Falsafah itu merupakan kesepakatan yang lahir agar ada harmonisasi antara manusia dan alam.

Ada harmonisasi antarmakhluk yang hidup di bumi, karena sama-sama hidup di bumi atau membumi.
Menurut dia lagi, falsafah hidup itu dirumuskan oleh sejumlah tokoh Dayak dalam suatu pertemuan. Mereka adalah Bahaudin Kay, Ikot Rinding dan RA Rachmat Sahudin.

"Tetapi saya rasa, masih ada yang lainnya, termasuk Laurentius Bakweng yang dari Sungai Ambawang (Kabupaten Pontianak)," kata mantan wartawan majalah Kalimantan Review, sebuah majalah pemberdayaan masyarakat adat Dayak di Kalbar itu.

Falsafah itu lahir tidak hanya dalam sekali pertemuan para tokoh perumus tersebut. Tetapi melalui pertemuan yang berulang, sampai lahirlah kalimat yang tampak membumi atau menyatu dengan alam tersebut.
Para perumus Maria Goreti yang kini hari-harinya lebih banyak dihabiskan di Jakarta itu, mengenal secara dekat salah satu tokoh perumus falsafah tersebut, yakni Bahaudin Kay yang berasal dari satu kampung dengannya di Pahauman, Kabupaten Landak.

"Beliau biasa disapa Bapak Elen, dalam tradisi masyarakat Dayak, seorang laki-laki yang sudah menikah dan punya anak, maka dalam kehidupan sehari-harinya akan disapa dengan panggilan nama anak tertuanya," kata Maria.

Kegiatan sehari-hari Bahaudin Kay saat masih hidup, adalah menjadi hakim pada sidang adat.
Misalnya saja ketika ada laki-laki Dayak duduk berduaan "mojok" dengan perempuan yang sudah memiliki suami. Maka laki-laki dan perempuan itu akan kena hukum adat yang konsesinya dalam bentuk tempayan dan harus dibayar.

"Jika mojok, `sumbang mata` hukumannya itu," kata dia. Dan menjadi tugas Bahaudin Kay sebagai `timanggong` untuk memberikan hukuman kepada pelaku pelanggar adat.
Sementara RA Rachmat Sahudin dikenal sebagai mantan anggota DPRD dari kabupaten dan provinsi Kalbar selama 5 periode. Terakhir, sebelum tutup usia pada 13 Agustus 2009, Rachmat Sahudin duduk sebagai anggota DPRD Kalbar periode 2009-2014.

Menurut Maria, tokoh Dayak tersebut pernah menyatakan "Adil ka`talino bacuramin ka`saruga basengat ka`jubata" memiliki makna yang sangat dalam.

"Tidak boleh ada ketidakadilan di muka bumi ini. Adil bukan hanya kepada manusia, tetapi juga kepada alam," kata Maria, mengutip pernyataan yang pernah disampaikan pria kelahiran Apo, Menjalin, Kabupaten Landak.

Rachmat Sahudin pernah menyatakan, alam sebagai tempat yang dihormati. "Makna ini yang hebat. Yang saya pahami. Tetapi sayangnya falsafah itu belum diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris," katanya.
Tokoh lainnya, Ikot Rinding, menurut beberapa sumber pernah menjadi anggota MPR RI Utusan Daerah periode 1999-2004.

Kemudian Laurentius Bakweng, pernah bersama-sama Ikot Rinding duduk sebagai anggota DPRD Kalbar.
Bagi Maria yang merupakan generasi muda Dayak, falsafah "Adil ka`talino bacuramin ka`saruga basengat ka`jubata" dapat dipopulerkan dalam pertemuan-pertemuan umum karena tidak bertentangan dengan nilai kemanusiaan dan ketuhanan.

Menurut dia, slogan tersebut hendaknya dipublikasikan bukan hanya untuk masyarakat Dayak tetapi juga untuk masyarakat luas. Karena jika  itu dihidupkan terus niscaya Kalbar akan selalu aman.

"Jika bisa begitu, bagus sekali. Saya terbiasa mengucapkannya," kata perempuan Dayak tersebut.
Maria mengakui masih banyak generasi muda Dayak sendiri yang tidak memahami falsafah tersebut. "Susahnya tradisi kita oral (lisan) dan jarang dituliskan. Sehingga banyak yang tidak paham," katanya.


Sebagai salah satu generasi muda, ia meyakini meski banyak distorsi (penyimpangan atau pemutarbalikan) tetapi falsafah tersebut mempunyai nilai dan makna, salah satunya harus berlaku adil kepada semua makhluk, sehingga setiap yang mendengarkan salam tersebut, selalu mengingatnya.

Sumber: Kompas