Welcome to my blog! Selamat Datang! Irashaimasu! Salamat Hasundau!

Rabu, 12 Oktober 2011

Kerajaan Tertua di Indonesia versi 2


Salakanagara didalam naskah Wangsakerta disebut-sebut sebagai Kerajaan awal di Indonesia. Naskah tersebut kemudian diuraikan dalam Sejarah Jawa Barat dan menghubungkan dengan sumber berita luar tentang Salakanagara.

Sumber berita yang sangat berpengaruh dan memberikan inspirasi bagi para peneliti adalah dari berita Cina, menyebut-nyebut raja Yeh-tiao bernama Tiao pien mengirimkan utusan ke Cina pada tahun 132 M. Nama Yeh-tiao diduga Yawadwipa atau Yabadiu, sedangkan Tiao pien dipersamakan dengan Dewawarman.

Berita Cina bukan satu-satunya sumber rujukan, karena keberadaannya dianggap lebih serius setelah dihubungkan dengan tulisan Ptolomeus, ahli ilmu bumi mesir, dalam buku ‘Geographia’, ditulis + tahun 150 M. Ptolomeus menyebutkan diujung barat Iabadiou (Jawadwipa) terletak Argyre (kotaperak). Dari kedua berita ini kemudian para ahli menarik kesimpulan adanya sebuah kerajaan di pulau jawa bagian barat. Sekalipun dalam rentang perjalanan waktu, kesimpulan para penelitipun berubah-berubah, bahkan menganggap berada di daerah Thailand.

Didalam sejarah lokal, konon letak Salakanagara berada di sekitar Kabupaten Pandeglang. Propinsi Banten. Peninggalan yang dianggap berkaitkan dengan Salakanagara tersebar di Cihunjuran, Citaman, Gunung Pulosari, dan Ujung Kulon, bahkan diperkirakan memilki kaitan dengan wilayah sekitar Gunung Salak (Mungkin Caringin Kurung) dan Gunung Padang Cianjur. Tapi tokoh Betawi, Ridwan Saidi dalam bukunya “Babad Tanah Betawi” mengkalim Salakanagara terletak di Kali Tirem, Warakas, Tanjung Priuk, bahkan menyebut-nyebut Aki Tirem sebagai leluluh orang Betawi.

Kegamangan menentukan letak Salakanagara didalam peta Indonesia memang sangat wajar, mengingat tidak ada bukti fisik sejarah yang telah diakui dengan jelas dan bisa dijadikan patokan. Semacam prasasti, atau tanda-tanda lainnya. Dimungkinkan pula kegamangan ini karena tidak diperhitungkannya perubahan alam, seperti telah meletusnya Gunung Krakatau pada abad ke-17, dikenal dengan nama Nusa Api.

Menurut hemat saya, penelusuran sejarah Salakanagara sebaiknya tidak hanya terfokus pada masalah yang bersifat berita komunikasi tertulis yang memang sangat terbatas, namun jauh lebih bijak jika dipertimbangkan pula sumber dari cerita-cerita rakyat atau petutur sejarah lisan. Penelusuran dapat juga dilakukan melalui cara mencari asal-usul kerajaan sebelumnya, seperti mencari asal-usul kerajaan Tarumanagara. Konon Kabar kerajaan ini merupakan ‘tuturus’ dari Salakanagara.

Dalam cerita lisan Urang Sunda mengenal kisah Dewata Cengkar dan Abusaka mungkin abu saca). Yang satu dianggap asli Indonesia sedang yang lain dari tanah sebrang. Kisah ini lebih banyak menceritakan adanya pertemuan budaya, namun memang seolah-olah ada cerita yang kurang enak mengenai dominasi asing terhadap pribumi. Sebagai paneling-ngelingnya maka lahirlah penanggalan Caka Sunda. Sayang ceritanya hanya terbatas untuk komunitas tertentu. Sehingga agak sulit melacak “ka girangna”. Namun didalam sejarah Jawa Barat disebutkan pertanda adanya sentuhan budaya dari India.

Salakanagara dalam sejarah Sunda (Wangsakerta) disebut juga Rajatapura. Salaka diartikan perak sedangkan nagara sama dengan kota, sehingga Salakanagara banyak ditafsirkan sebagai Kotaperak atau Argyre (ptolomeus).
Konon kabar Salakanagara sampai dengan masa Aki Tirem baru bebentuk suatu komunitas masyarakat yang tinggal di Wilayah tersebut, bahkan namanya pun belum disebut Salakanagara, hanya dipimpin atau dikelola oleh penghulu, Salakanagara resmi menjadi kerajaan ketika masa Dewawarman I, menantu Aki Tirem yang menikahi putri Aki Tirem, bernama Pwahaci Larasati (urang sunda menyebut Dewi Pohaci).

Jauh-jauh hari sebelum berbentuk kerajaan, Salakanagara dikenal sebagai kota perdagangan dan persinggahan para Saudagar asia, seperti Arab, India dan China. Sehingga wajar jika keberadaan Salakanagara diberitakan oleh mereka.

Selasa, 04 Oktober 2011

Kerajaan Tertua di Indonesia versi 1


Berdasarkan tarikh masehi berdirinya kerjaaan ini, maka tidak heran jika banyak kalangan meyakini bahwa Padangguni adalah Kerajaan Prasejarah Tertua di Indonesia, lebih dahulu ada dibandingkan Kerajaan Kutai yang muncul pada abad ke-4.

Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Itulah salah satu topik pidato Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno yang amat popoler dan masih menjadi acuan politik pemerintah maupun rakyat hingga saat ini, Jasmerah! Sejarah memang selalu jadi legenda nyata yang akan mempengaruhi kehidupan manusia, juga perjalanan hidup suatu bangsa. Tidak ada satupun bangsa atau negara di dunia ini yang steril dari kisah sejarah masa lampau bangsa atau negara itu. Heroisme yang dipertontonkan generasi masa lalu akan terefleksi dalam setiap gerak hidup generasi penerusnya. “Nenek moyangku orang pelaut…” sebuah ungkapan nyanyian anak-anak yang menjadi cerminan kebesaran dan kedigdayaan bangsa Indonesia di masa lampau, yang terwariskan mempengaruhi sejarah kehidupan mayoritas masyarakat sepanjang pantai di kepulauan Indonesia saat ini. Bangsa besar lahir dari sejarah kebangsaan yang besar pula.

Betapa pentingnya mengetahui dan memahami sejarah bangsa. Maka mencari, meneliti, dan menelurusi jejak hidup nenek-moyang kita dengan segala bentuk dan struktur kehidupan masyarakatnya adalah tugas sejarah yang mesti dilaksanakan oleh generasi masa kini dan mendatang. Kepedulian kita tentang sejarah dan budaya nenek moyang bangsa akan memperkaya khasana kebudayaan di tanah air yang pada gilirannya dapat berpotensi menjadi salah satu tujuan wisata sejarah. Dengan mengetahui sejarah bangsa, kita boleh menyadari bahwa di Indonesia ini pernah lahir lebih dari 1000 buah kerajaan, sebuah angka fantastis yang tidak akan pernah kita jumpai di belahan dunia lainnya. Dari penelitian kesejarahaan masyarakat tradisional di nusantara, kita juga dapat mengetahui bahwa tata pemerintahan tradisional yang menjunjung tinggi keberadaan aturan hukum selayaknya undang-undang di jaman kini, sudah eksis sejak dahulu kala. Salah satunya adalah Kalo Sara Hukum Adat di kerajaan kuno, Kerajaan Padangguni.

Kerajaan Padangguni merupakan kerajaan kecil di wilayah Kendari, Sulawesi Tenggara. Rakyat kerajaan ini berasal dari suku Tolaki kuno yang hingga hari ini masih eksis dengan tetap mempertahankan tradisi kuno yang diwarisi secara turun-temurun dari nenek-moyang mereka. Komunitas suku Tolaki kuno di jaman prasejarah masa lampau itu berkembang menjadi sebuah kerajaan yang didirikan oleh Raja Larumbesi Tanggolowuta I pada abad ke-2 Masehi. Dalam kitab Bunduwula disebutkan bahwa Kerajaan Padangguni dahulu disebut Owuta Puasa yang berarti Tanah Pusaka atau Tanah Leluhur.

Berdasarkan tarikh masehi berdirinya kerjaaan ini, maka tidak heran jika banyak kalangan meyakini bahwa Padangguni adalah Kerajaan Prasejarah Tertua di Indonesia, lebih dahulu dibandingkan Kerajaan Kutai yang muncul pada abad ke-4.

Masyarakat suku Tolaki kuno di Kerajaan Padangguni pada saat sebelum datangnya agama Hindu-Budha menganut kepercayaan Animisme, Dinamisme, dan Totenisme. Kemudian pada awal abad XIV mereka beralih kepercayaan menganut agama Hindu. Oleh karena itulah Lambang Dewa Shiwa dipergunakan sebagai Lambang Kalo Sara hukum adat setempat untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang timbul dalam masyarakat. Bagi yang tidak tunduk dan tidak mematuhi Kalo Sara hukum adat ini dipercaya akan mendapatkan kutukan.

Agama Hindu-Budha yang dianut masyarakat pada saat itu tidak sama persis dengan agama Hindu yang berkembang di India. Hal ini karena disesuaikan dengan kepercayaan masyarakat sehingga terjadi akulturasi dalam wujud agama Hindu-Budha. Perkembangan kepercayaan masyarakat kerajaan Padangguni nampak dari struktur pemerintahan sejak jaman Hindu s/d abad XIX. Corak pemerintahan dipengaruhi oleh akulturasi Hindu-Buddha yang selanjutnya berakulturasi lagi dengan kebudayaan Islam yang masuk dari kerajaan Goa-Tallo di Sulawesi Selatan. Fenomena terakhir, pengangkatan raja Kerajaan Padangguni yakni Raja Bunduwula XII yang diberi gelar Sultan dilakukan dengan pertimbangan penyesuaian kebudayaan Islam. Dalam bahasa Tolaki, kerajaan dipimpin oleh seorang Raja atau Mokole dan keturunannya yang disebut Anakia (laki-laki) dan Anawai (perempuan), sedangkan kesultanan menurut terminologi bahasa Arab adalah sama dengan kerajaan yang dipimpin oleh seorang Sultan.

Beberapa catatan sejarah dan bukti yang masih tersisa berupa budaya dan peninggalan tertulis, diantaranya kitab-kitab yang berisikan tentang perjalanan suku Tolaki, silsilah raja-raja, dan peristiwa-peristiwa lainnya. Kitab Ilagaligo adalah kitab yang berasal dari kerajaan Goa-Tallo yang menjelaskan tentang asal-usul Raja Bunduwula I. Kitab Taenango suku Tolaki kuno yang memuat asal-usul kejadian manusia dan berisi nasehat-nasehat kehidupan, dan riwayat perjalanan hidup suku Tolaki yang diceritakan dalam bentuk syair. Kitab ini biasanya dibaca dengan cara dinyanyikan pada saat upacara keagamaan dan upacara perkawinan. Kitab Bunduwula Sangia Wonua Sorume menjelaskan asal-usul terbentuknya kerajaan Padangguni.
Di bidang kebudayaan, terdapat budaya Kalo Sara Hukum Adat yang menjadi pedoman bertingkah-laku anggota masyarakat Tolaki kuno hingga generasinya saat ini. Barangsiapa yang tidak mematuhi hukum adat tersebut dipercaya akan mendapatkan kutukan. Juga, dapat disaksikan pementasan sakral budaya Tarian Ulo. Tarian ini bisanya digunakan untuk penyembahan pada dewa dan leluhur dan orang tua atau raja yang sudah meninggal. Selain itu, masyarakat Tolaki di kerajaan Padangguni yang masih tradisional itu menguasai ilmu meteorologi dan geofisika (Matanggawe), perhitungan waktu (Bilangari), dan seni bangunan.

Dalam kitab Bunduwula dan kitab Taenango menjelaskan struktur organisasi pemerintahan kerajaan Padangguni sebagai pusat kerajaan. Kerajaan Padangguni membawahi daerah-daerah yang diperintah oleh seorang Mokole atau Raja, Inowa, Inowa Owa, Wonua, Napo dan Kambo. Daerah-daerah tersebut menjadi anggota persekutuan pemerintahan kerajaan Padangguni yang umumnya masih kerabat atau keluarga dekat Raja Bunduwula yang memerintah dalam wilayah/daerah secara otonom. Raja Bunduwula memerintah atas nama daerah-daerah itu dengan Mokole-mokole/Raja, Inowa, Inowa owa. Apabila Raja Padangguni bertindak keluar, ia merupakan wakil rakyat yang berkuasa penuh, sedangkan jika bertindak kedalam ia merupakan lambang nenek-moyang yang didewakan.

Sumber informasi sejarah kerajaan Padangguni menurut catatan dalam kitab Ilagaligo, Kitab filsafat Taenago dan Kitab Bunduwula, ternyata tidak ada catatan peralihan Dinasti Raja Larumbesi Tanggolowuta I di abad ke-2 Masehi ke Dinasti Mokole Bunduwula I abad ke-16, Sangia Wonua Sorume Mokole Padangguni Inea Sinumo Wuta Mbinosito (Daerah Istimewa) Totongano Wonua (Raja Pusat Negeri) Lembui Lenggobaho (Sulawesi Tenggara) tahun 1574-1649. Pemerintahannya dilanjutkan oleh Raja Bunduwula II yang bernama Welimondi (1649-1715) dengan Gelar Anawai Ndo Padangguni II (ratu). Berturut-turut selanjutnya adalah Raja Padangguni III bernama Maranai (1715-1745) dengan Gelar Mokole Bunduwula III Inea Sinumo Wutoa Mbinotiso. Raja Padangguni IV bernama Wesande dengan Gelar Anawai Ndo Padangguni IV Inea Sinumo Wuta Mbinotiso Bunduwula IV (1745-1775). Raja Padangguni V bernama Dahoro dengan Gelar Bunduwula V Inea Sinumo Wuta Mbinotiso (1775-1815). Kemudian Raja Padangguni VI bernama LAO dengan Gelar Mokole Bunduwula VI Inea Sinumo Wuta Mbinotiso (1815-1845). Raja Padangguni VII bernama Danda yang diberi Gelar Mokole Bunduwula VII Inea Sinumo Wuta Mbinotiso (1845-1875). Raja Padangguni VIII bernama Labandonga dengan Gelar Mokole Bunduwula VIII Inea Sinumo Wuta Mbinotiso (1845-1905), Raja Padangguni IX bernama Sandima dengan Gelar Mokole Bunduwula IX Inea Sinumo Wuta Mbinotiso (1905-1935). Raja Padangguni X bernama Beangga dengan Gelar Mokole Bunduwula X Inea Sinumo Wuta Mbinotiso (1935-1959). Selanjutnya Raja Padangguni XI bernama Tariambo anak dari Raja Sandima dengan Gelar Mokole Bunduwula XI Inea Sinumo Wuta Mbinotiso (1959-1978).

Kekacauan yang terjadi akibat pemberotakan DI/Permesta beberapa dekade silam telah mempengaruhi proses peralihan kepemimpinan di Kerajaan Padangguni. Bahkan, istana kerajaan telah musnah dibakar oleh gerombolan pengacau keamanan karena pihak kerajaan teguh berpihak kepada Pemerintahan RI. Namun, sejarah belum usai. Pemegang tampuk kepemimpinan terakhir Kerajaan Padangguni, Raja Padangguni XI, Mokole Tariambo kemudian menitipkan Mahkota Kerajaan Padangguni kepada keponakannya Bunduwula Yusuf dengan amanat agar kelak diserahkan kepada Putra Mahkota Kerajaan Padangguni yaitu Abdul Aziz Riambo. Penobatan Abdul Azis Riambo dengan Gelar Sultan Anakia Mokole Bunduwula XII Inea Sinumo Wuta Mbinotiso telah dilangsungkan di hadapan masyarakat adat Tolaki Kerajaan Padangguni pada tanggal 20 Juni 2001. Raja Bunduwula XII, tugas sejarah telah diletakkan di pundak Paduka. Masyarakat adat di Kerajaan Padangguni menanti sabda dan titah Baginda Raja.


Sumber : pewarta-indonesia.com