Manyipet atau menyumpit bagi
masyarakat Dayak adalah kebanggaan karena dulu para lelaki bisa mendapatkan
lauk bagi keluarga dari berburu hewan di hutan. Sekarang manyipet masih
dilakukan para lelaki dan sebagian perempuan, tetapi hanya untuk sambilan
ketika pergi ke ladang.
Undong (60), warga Desa Sungai
Lunuk, Kecamatan Tanah Siang, Murung Raya, Kalimantan Tengah, masih ingat betul
waktu beranjak remaja dulu ia sering diajak ayahnya berburu. Hasil buruan itu
dijadikan lauk buat santapan keluarga.
Sampai sekarang ia juga masih
sering menyumpit walau tidak benar-benar untuk berburu. Bersama perlengkapan ke
ladang lain, sumpit tetap dibawa, tetapi hanya dipakai kalau kebetulan melihat
burung, rusa, babi, tupai, atau binatang lain. Sebab, binatang hasil buruan
kini bukanlah yang utama untuk konsumsi keluarga. Selain karena hutan makin
berkurang akibat terdesak pertambangan dan perkebunan besar, atau tinggal
tersisa semak belukar setelah ditinggalkan para pemegang hak pengusahaan hutan
(HPH), aneka barang kebutuhan sudah tersedia di warung-warung desa. Lauk tidak
lagi mengandalkan hasil buruan dan ikan segar dari sungai, tetapi bisa dibeli
dan jenisnya beragam. Tahu, tempe, ikan asin, daging, telur, dan mi instan
dengan mudah didapat.
Kalaupun masih ada kelompok
masyarakat yang berburu, mereka tidak semata-mata mencari lauk. Untuk itu,
mereka harus berjalan kaki masuk hutan yang kini makin jauh lokasinya dari
perkampungan.
Beracun
dan mematikan
Sumpit sebagai senjata sebenarnya
ada di banyak daerah, bahkan sejumlah negara. Dalam buku Sumpitan Koleksi
Museum Kalteng, Proyek Pengembangan Permuseuman Kalteng Tahun 1980-1981
disebutkan, Robert FG Spier dari Universitas Missouri menyatakan, beberapa suku
primitif di Amerika Tengah, Amerika Selatan, Filipina, dan Asia Tenggara lain
menggunakan senjata tiup (blowgun) untuk berburu.
Dalam buku Borneo 1843 terbitan
Bentara Budaya Yogyakarta tahun 2010 disebutkan hasil penelitian Dr CALM
Schwaner asal Belanda di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan tentang
kehidupan masyarakat di Sungai Kahayan dan Barito.
Penelitian Dr CALM Schwaner dalam
Beschruving van Het Stroomgebied van Den Barito jilid 1 dan 2 itu, seperti
dikutip Borneo 1843, memuat gambar litografi karya CW Mieling, antara lain beberapa
orang Dayak di pinggir perkampungan yang memegang sumpit.
Mengenai asal muasal penggunaan
sumpit, buku Sumpitan Koleksi Museum Kalteng menyebutkan beberapa versi, antara
lain seorang pandai besi mendapati bambu (puputan) yang dipakai meniup api tersumbat.
Ia kemudian meniupnya sekuat tenaga sehingga sumbatannya terlempar keluar.
Ada juga kisah peniup seruling
(serunai) yang lubangnya tersumbat dan kemudian dia meniupnya. Ada yang
menuturkan sumpit hasil kreasi pemburu saat melihat buaya menyemprotkan air ke
monyet.
Dari mana pun asal dan bagaimana
muasal penggunaannya, sumpit sudah sangat lama menjadi senjata Dayak.
Untuk kepentingan berburu, ujung
anak sumpit (damek) yang lancip itu biasa direndam dalam racun dari getah
tumbuhan ipu atau siren yang sangat mematikan. Binatang buruan yang tertancap
di ujung damek dipastikan akan mati dalam waktu 30 detik hingga 3 menit. Bagian
daging di sekitar damek menancap akan berwarna biru dan harus dibuang karena
berbahaya jika termakan manusia.
Karena begitu mematikan, ditambah
lagi dengan cara penggunaannya yang hanya berbunyi ”sett..., dup”, tentara
Belanda dulu diberitakan sangat takut menghadapi sumpit Dayak dibandingkan
dengan senjata api. Peluru yang bersarang di dalam tubuh bisa dioperasi, luka
bekas tembakan bisa disembuhkan, tetapi terkena anak sumpit beracun bisa
dipastikan mati.
Karena begitu mematikannya anak
sumpit beracun itu, di masyarakat Dayak terdapat juga pantangan menggunakan
damek beracun untuk menyumpit manusia. Sekali damek mengenai manusia, dikatakan
bahwa damek yang tersisa akan kehilangan ”kesaktiannya”. Itulah kearifan lokal
agar manusia tak saling bunuh.
Kearifan lokal juga tecermin dari
filosofi pembuatan sumpit yang butuh ketelatenan dan kesabaran untuk mengebor
(membuat lubang berdiameter sekitar 1 sentimeter dengan panjang 1,2-2 meter di
dalam batang kayu ulin yang keras itu selama berbulan-bulan. ”Berpikir harus
lurus,” kata budayawan Dayak, Syaer Sua U Rangka (59), yang pernah menjadi
pelatih menyumpit di Kostrad pada 2001.