Welcome to my blog! Selamat Datang! Irashaimasu! Salamat Hasundau!

Kamis, 09 Juni 2011

Manyipet


Manyipet atau menyumpit bagi masyarakat Dayak adalah kebanggaan karena dulu para lelaki bisa mendapatkan lauk bagi keluarga dari berburu hewan di hutan. Sekarang manyipet masih dilakukan para lelaki dan sebagian perempuan, tetapi hanya untuk sambilan ketika pergi ke ladang.

Undong (60), warga Desa Sungai Lunuk, Kecamatan Tanah Siang, Murung Raya, Kalimantan Tengah, masih ingat betul waktu beranjak remaja dulu ia sering diajak ayahnya berburu. Hasil buruan itu dijadikan lauk buat santapan keluarga.

Sampai sekarang ia juga masih sering menyumpit walau tidak benar-benar untuk berburu. Bersama perlengkapan ke ladang lain, sumpit tetap dibawa, tetapi hanya dipakai kalau kebetulan melihat burung, rusa, babi, tupai, atau binatang lain. Sebab, binatang hasil buruan kini bukanlah yang utama untuk konsumsi keluarga. Selain karena hutan makin berkurang akibat terdesak pertambangan dan perkebunan besar, atau tinggal tersisa semak belukar setelah ditinggalkan para pemegang hak pengusahaan hutan (HPH), aneka barang kebutuhan sudah tersedia di warung-warung desa. Lauk tidak lagi mengandalkan hasil buruan dan ikan segar dari sungai, tetapi bisa dibeli dan jenisnya beragam. Tahu, tempe, ikan asin, daging, telur, dan mi instan dengan mudah didapat.

Kalaupun masih ada kelompok masyarakat yang berburu, mereka tidak semata-mata mencari lauk. Untuk itu, mereka harus berjalan kaki masuk hutan yang kini makin jauh lokasinya dari perkampungan.

Beracun dan mematikan

Sumpit sebagai senjata sebenarnya ada di banyak daerah, bahkan sejumlah negara. Dalam buku Sumpitan Koleksi Museum Kalteng, Proyek Pengembangan Permuseuman Kalteng Tahun 1980-1981 disebutkan, Robert FG Spier dari Universitas Missouri menyatakan, beberapa suku primitif di Amerika Tengah, Amerika Selatan, Filipina, dan Asia Tenggara lain menggunakan senjata tiup (blowgun) untuk berburu.

Dalam buku Borneo 1843 terbitan Bentara Budaya Yogyakarta tahun 2010 disebutkan hasil penelitian Dr CALM Schwaner asal Belanda di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan tentang kehidupan masyarakat di Sungai Kahayan dan Barito.

Penelitian Dr CALM Schwaner dalam Beschruving van Het Stroomgebied van Den Barito jilid 1 dan 2 itu, seperti dikutip Borneo 1843, memuat gambar litografi karya CW Mieling, antara lain beberapa orang Dayak di pinggir perkampungan yang memegang sumpit.

Mengenai asal muasal penggunaan sumpit, buku Sumpitan Koleksi Museum Kalteng menyebutkan beberapa versi, antara lain seorang pandai besi mendapati bambu (puputan) yang dipakai meniup api tersumbat. Ia kemudian meniupnya sekuat tenaga sehingga sumbatannya terlempar keluar.

Ada juga kisah peniup seruling (serunai) yang lubangnya tersumbat dan kemudian dia meniupnya. Ada yang menuturkan sumpit hasil kreasi pemburu saat melihat buaya menyemprotkan air ke monyet.

Dari mana pun asal dan bagaimana muasal penggunaannya, sumpit sudah sangat lama menjadi senjata Dayak.
Untuk kepentingan berburu, ujung anak sumpit (damek) yang lancip itu biasa direndam dalam racun dari getah tumbuhan ipu atau siren yang sangat mematikan. Binatang buruan yang tertancap di ujung damek dipastikan akan mati dalam waktu 30 detik hingga 3 menit. Bagian daging di sekitar damek menancap akan berwarna biru dan harus dibuang karena berbahaya jika termakan manusia.

Karena begitu mematikan, ditambah lagi dengan cara penggunaannya yang hanya berbunyi ”sett..., dup”, tentara Belanda dulu diberitakan sangat takut menghadapi sumpit Dayak dibandingkan dengan senjata api. Peluru yang bersarang di dalam tubuh bisa dioperasi, luka bekas tembakan bisa disembuhkan, tetapi terkena anak sumpit beracun bisa dipastikan mati.

Karena begitu mematikannya anak sumpit beracun itu, di masyarakat Dayak terdapat juga pantangan menggunakan damek beracun untuk menyumpit manusia. Sekali damek mengenai manusia, dikatakan bahwa damek yang tersisa akan kehilangan ”kesaktiannya”. Itulah kearifan lokal agar manusia tak saling bunuh.

Kearifan lokal juga tecermin dari filosofi pembuatan sumpit yang butuh ketelatenan dan kesabaran untuk mengebor (membuat lubang berdiameter sekitar 1 sentimeter dengan panjang 1,2-2 meter di dalam batang kayu ulin yang keras itu selama berbulan-bulan. ”Berpikir harus lurus,” kata budayawan Dayak, Syaer Sua U Rangka (59), yang pernah menjadi pelatih menyumpit di Kostrad pada 2001.

Sumber : Kompas